The Memory Police (Polisi Kenangan)

 by: Nabila Rhapsodios





INFO PRODUK

Buku Terjemahan
Judul: The Memory Police (Polisi Kenangan)
Pengarang: Yoko Ogawa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Bahasa: Indonesia 
Tahun Terbit: 2020
Jumlah Halaman: 304



PROLOG

I read the novel based on a short review in the Gramedia Pustaka Utama. I had no background or information about the author. I had never read a Japanese novel. The Memory Police or what we called  'Polisi Kenangan' in Bahasa is my second Japanese novel. My first book of Japanese novel is Convenience Store Woman -let us call it Gadis Supermarket from now on- a novel by Sayaka Murata. Penulis membaca ulasan Gramedia tersebut karena mencari bacaan menarik untuk menyingkirkan lesu mental yang tidak bisa dijabarkan memakai kata-kata. Ulasan buku yang akan diulas disini dan Gadis Supermarket berhasil membangkitkan rasa harus baca dan koleksi, terlebih tertarik dengan premis yang dijabarkan di dalam blog Gramedia tersebut. Kata-kata yang menjual adalah 'kisah nyata', 'bacaan ringan', 'komedi', dan 'kehidupan supermarket Jepang' untuk Gadis Supermarket. 'George Orwell' (Yes, that Orwell), 'distopia', 'kenangan manusia hilang dan harus hidup bersamanya', dan 'bacaan semi-ringan' untuk Polisi Kenangan. Semua kata kunci tersebut terlihat kontras, bukan? Penulis menyengajakannya. Alasannya adalah buku Gadis Supermarket sangat tipis sementara Polisi Kenangan agak tebal agar penulis tergugah untuk tetap produktif dalam waktu semi-singkat dimana penulis tidak menginstruksikan tubuh untuk lesu terus-menerus (buku merupakan salah satu motivasi hidup dan otak butuh nutrisi yang tepat untuk tidak karatan. Ya, penulis lebih memperhatikan nutrisi otak daripada nutrisi untuk perut hehehe), buku Gadis Supermarket yang komedi adalah starter yang cocok sebelum membaca Polisi Kenangan yang butuh sedikit berpikir, dan batin penulis membutuhkan lawak serta serius di saat bersamaan karena penulis blank di otak serta di badan. 

Apakah diantara kalian ada yang mengalami hal yang sama dengan penulis? Yaitu lesu mental, tidak termotivasi untuk mengerjakan hal-hal yang dicintai, kemudian pikiran tidak bisa memproses apapun. Tidak, ini bukan perasaan menyerah karena masih bisa berharap, bermimpi, dan terkikik bersama orang yang dicintai. Gejala apa ini ya, kawan? Penulis sampai menulis review buku Polisi Kenangan masih bisa merasakannya. Sedikit memberi tahu perasaan lesu mental ini, "hilang" atau tidak berasa kalau work mode. Muncul saat waktu kerja sudah habis atau kerjaan di kantor sudah beres. Apakah ini berbahaya? Apakah penulis sudah setengah "robot" yang tunduk pada instruksi kantor, apa berbahaya jugakah ini? 

Oke. Balik lagi ke ulasan... 

Memasukkan dua buku ke dalam Keranjang, lalu Check Out dan tugas terakhir adalah menunggu pesanan tiba. Pesanan sudah sampai di rumah tapi, rasa lesu mental membara lagi di tubuh sehingga alhasil dua buku ini dibiarkan satu setengah minggu tidak disentuh. Melawan rasa lesu mental ini cukup sulit, tapi penulis memaksa tubuh agar tidak menyerah kepadanya, maka penulis membuka buku Gadis Supermarket, menamatkannya dan buru-buru sekelarnya Gadis Supermarket, penulis robek sampul Polisi Kenangan karena mumpung serangan lesu mental sedang tidak ada. Polisi Kenangan akhirnya tamat dalam waktu satu minggu. 

This Japanese story about an island where bereavement and loss become a way of life. A life where inhabitants meditating on totalitarianism as well as questioning the rhythms of life and death. So for anyone looking for short summaries, here it is! But I'd like to admonish you that despite the tagline "Orwellian" on the back cover of the publication, this reads much more like a very deserted drama. 

ISI

Protagonis di dalam novel ini merupakan seorang novelis perempuan yang bergulat dengan mimpi buruk setiap hari di pulau yang dia tinggali. Mimpi buruknya berupa pasukan polisi datang di tengah malam untuk menawan masyarakat dan menghapus ingatan dari otak mereka. Ingatan yang dihilangkan oleh mereka bisa berupa objek dan kata. Objek bisa lenyap dengan cara dibakar, dilarung, ditenggelamkan, dan disita. Ketika telah dibegitukan, polisi kenangan akan melarang masyarakat untuk mengucap objek yang sudah dimusnahkan dimana lama-lama masyarakat akan kesulitan mengingat kata / nama untuk menyebut objeknya. 

Sudah banyak yang disingkirkan oleh polisi kenangan, mulai dari kapal feri, burung, bunga mawar, peta, dan kalendar di pulau tidak bernama ini. Novelis muda ini selalu digelayuti oleh perasaan was-was bahwa apalagi yang akan direnggut oleh polisi kenangan di hari berikutnya apabila polisi kenangan turun ke permukiman. Protagonis melihat aksi polisi kenangan melakukan tugasnya dari dia kecil sampai sudah berprofesi novelis dengan detasemen tertentu yang bukan ketidakpedulian sinis, tapi hanya kepasifan perlawanan yang mengakar sejak orang tua meninggal dan polisi kenangan menghapus objek dan kata yang lekat dengan kenangan yang dilaluinya bersama orang tuanya. 

Protagonis memiliki editor bernama R. Dia juga memiliki satu teman sejati yaitu Kakek Tua yang telah dikenal dari kecil. Di dalam kehidupan mereka, hilangnya kata dan objek bersifat kontinu. Mereka percaya bahwa pelenyapan ini tidak akan ada yang namanya titik akhir. Di satu poin kehidupan dalam cerita, protagonis mengenal tanda-tanda bahaya bahwa R masuk ke dalam daftar orang yang akan ditangkap oleh polisi kenangan. R merupakan segelintir masyarakat yang masih mampu mengingat objek dan kata yang telah hilang di pulau karenanya ancaman. Takdir yang begitu kejam bagi masyarakat yang sama seperti R dimana mereka dibuat kacau, dijebloskan ke dalam penjara, diinterogasi intensif, dan parahnya bisa disiksa sampai mati oleh polisi kenangan. Hal ini menyebabkan protagonis bersama Kakek Tua membuat rencana yaitu membangun kamar rahasia di dalam rumah novelis muda ini untuk menyembunyikan editor tercinta. Akan tetapi, di dunia pelenyapan yang diantisipasi dan ditakuti ini, masyarakat tidak berani menebak tujuan utama atas mereka pantas mendapat perlakuan polisi kenangan, mereka hanya bisa melancarkan slogan life goes on and bow down to the authority. 

Berhari-hari menyembunyikan R di kamar rahasia membuat Kakek Tua mengemukakan observasinya kepada protagonis dan R. Hasil observasi Kakek Tua adalah melestarikan kenangan merupakan sebuah hal yang "mubazir" dan hanya memenuhi kapasitas memori seorang manusia. Otak adalah bagian paling rentan dan tidak dilindungi oleh pelindung apapun. Oleh karena itu, manusia harus sangat bersungguh-sungguh melindungi kenangan di dalam otak atas beragam objek.  Terenggutnya kenangan, kata, dan objek, masyarakat pulau menyadari bahwa hati mereka lama-lama "menipis". Otak dan hati tiap individu terukir galian lubang besar yang tidak terlihat dan tidak bisa disembuhkan ke kondisi semula. 

Kamar rahasia R berubah menjadi sebuah gua penyimpanan dan penyembunyian barang. Sebuah harmonika, sebuah permen mint, dan sebuah kotak musik berada di dalamnya. Ini merupakan inisiasi R supaya mendorong protagonis dan Kakek Tua dapat mengingat kembali dan merasakan kenangan barang-barang tersebut yang telah puluhan tahun hilang dari pulau. Sedihnya, mereka tidak berdaya untuk merapal dan juga sudah tidak dapat mengingat fungsi dari benda-benda tersebut tapi, walaupun keadaan otak dan hati kosong, mereka masih bisa menilai bahwa benda-benda tersebut membuat mereka merasakan ketenangan.

Suatu hari yang malang, polisi kenangan mengeluarkan perintah penghapusan kata yang bersangkutan dengan bagian tubuh. Masyarakat yang biasa terhipnotis perintah polisi kenangan, melakukannya dan mereka mendadak cacat (walaupun tubuh mereka masih utuh) pagi berikutnya. R melihat hal ini sudah keterlaluan. R berusaha mati-matian "membangunkan" protagonis dari "hipnotis" bahwa bagian tubuh yang dilenyapkan itu masih melekat di tubuhnya dan memintanya berjalan normal. R melakukan beragam cara "membangunkan" mulai menyentuh, memijit, sampai membentangkan bagian tubuh ke depan mata protagonis, tetap saja novelis muda kita tidak "terbangunkan". 

Protagonis perempuan kita mulai berpikir bahwa setelah semua objek dan kata dilenyapkan satu per satu, penghapusan selanjutnya bisa saja keberadaan dia sendiri. "Jiwa" / "Akal" / "Hidup" adalah contohnya. Di hari yang tidak terelakkan tersebut, dia berpikir apakah dia sendiri bersama beberapa masyarakat ikut komando pemerintahan atau di saat hari itu dialah yang akan menjadi penghuni kamar rahasia selanjutnya untuk selamanya. Masyarakat yang masih jelas mengingat kenangan atas benda-benda dilenyapkan akan keluar satu per satu dari kamar / tempat rahasia untuk menghirup udara segar dan mereka akan digantikan oleh dia bersama masyarakat lain yang sudah banyak lupa karena "hati, jiwa, dan tubuh sudah berupa rongsokan" untuk tinggal di persembunyian.  Novelis kita pasrah menunggu hari itu tiba sambil R tetap berupaya menyelamatkan dirinya dari cengkraman jahat polisi kenangan.  


FINAL NOTE FROM ME


Penulis jatuh cinta terhadap novel The Memory Police (Polisi Kenangan) karena premise yang disuguhkan sangat thought provoking. Ditambah novel ini membawa Orwellian semakin membuat penulis berpikir bahwa novel ini bisa saja berhasil masuk sebagai perpanjangan atau konklusi 1984 yang disetting beda universe. Tapi, jalan cerita novel ini setelah ditamatkan nyatanya, tidak berhasil memukau penulis. Beda sekali dari novel milik Orwell. Teknik penulis novel ini yang terlihat yaitu menyengajakan jalan pertengahan cerita sampai ending part berjalan "tumpul" dan "menjemukan" untuk menambah filter ke dalam cerita, sangat tidak epik. Penulis membolak-balik halaman berharap bisa menemukan teks di dalam novelnya memuncak dan menjadi dalam, it never happened! Sekalinya penulis bertemu teks plot yang seru dan emosi karakternya meninggi, penulis melempem dengan cepat karena tidak ada kedalaman. Duh. I left with a lot of questions and nonstop disillusions asking "Why" or "How". Contohnya adalah "Mengapa polisi kenangan berpakaian gagah dan berwajah kosong?", "Mengapa bisa diciptakan polisi kenangan dan kepada siapa mereka melapor?", "Bagaimana polisi kenangan memegang kekuatan besar di pulau ini?", "Bagaimana salju menjadi tidak meleleh dan alam pun tunduk pada fenomena ini?", and so on

Hm, I'm not sure what the point of writing something this demoralizing is too. Alasan pertama adalah untuk sebuah buku yang dijadikan sebagai pembahasan kekuatan dan kekejaman rezim totaliter, di dalam buku sama sekali tidak diceritakan atau secara spesifik diangkat untuk menjadi fokus cerita. Penulis rasa, The Memory Police (Polisi Kenangan) lebih menekankan pada pembahasan tentang bagaimana manusia kehilangan kemampuan berkomunikasi untuk berbagi cerita atas perasaan kehilangan dan bahaya dari hilangnya kemampuan tersebut membuat manusia akan menjadi apa di dunia seperti ini yang diatur oleh orang lain yang berniat mengendalikan penuh mereka. 

Alasan kedua, mau dilihat sebagai novel hororkah? Tidak juga. Distopia (katanya) tapi, penulis lebih menilai novel ini tidak distopia melainkan sebagai pengantar suasana hati dan sangat moody. Ketika membaca sampai tiba di halaman terakhir, penulis merasakan gejolak perasaan diam, sedih, nyaman, tidak betah, dan sayang kepada Kakek Tua kemudian, kesal kepada para penghuni pulau tersebut atas sifat puas dan bergembira bebas ketika dihadapkan dengan penghilangan kenangan yang berujung pada keberadaan mereka sendiri ikutan "lenyap". I could imagine myself as an outsider visiting this unnamed island to feel these feelings. 

And so sad to say, this book still was not a fascinating page-turner because it doesn't have an identity... 

Yoko Ogawa

Kesampingkan kekecawaan penulis pada jalan cerita yang horrible dan penutup yang disappointing, penulis menikmati atmosfer atau setting bukunya berada di antah berantah yang sedang dalam keadaan ditindas oleh pemerintah (At least in the beginning...). Satu hal lagi yang merupakan strength buku ini, mengajak para pembacanya berfilosofi. "Apa peran yang dijalankan kenangan dalam hidup seseorang?". "Apa manfaat dari kenangan?". "Jika sebuah objek mengingatkan kita kembali pada suatu kenangan perlahan lenyap, perbedaan apa yang bisa tercetus bagi kehidupan kita yang sedang dijalani?". Yoko Ogawa menuangkan filosofi tersebut dengan penjabaran yang cukup luar biasa (dengan ditambah sentuhan keJepang-jepangan). Diam-diam menarik pembaca masuk ke dalam lingkungan yang ganjil dan tidak masuk akal tapi, bermakna dan penuh dengan "realitas" yang belum terselesaikan untuk dijelaskan di dalam bukunya. 

Kekuatan buku yang terakhir ditemukan oleh penulis adalah penyimpangan dari hal normal tertuang di dalamnya sangat menarik perhatian. Masyarakat yang masih bisa mengingat objek dan kata yang telah disingkirkan, tapi, harus bersembunyi dari sikap agresif polisi kenangan (yang sering kali tidak berhasil). Daya juang untuk bertahan hidup kelompok masyarakat ini adalah permainan yang rumit dan permasalahan yang sulit karena mereka mempertahankan kenangan utuh di otak dan persepsi yang harus tetap waras di dunia mereka yang perlahan runtuh. Masih mampu mengingat dengan jelas apapun yang sudah tidak ada dinilai sebuah kriminal. Sementara, bagi yang sudah lupa dan akhirnya berada di sebuah dunia yang sudah berubah penuh takut, suram serta banyak kelangkaan dinilai sebuah kegembiraan dan kebebasan. 

Di penghujung ulasan novel ini, penulis mengingatkan lagi bahwa cukup suka dengan bukunya dan sedikit terpukau dengan premisnya, tapi tetap tersimpan kekecewaan di bagian semua hal yang menghilang ditinggal untuk dielaborasikan lebih detail. Penulis dulu berharap menggali sedikit wawasan tentang apa yang sebenarnya terjadi di plot ceritanya ketika buku sedang dibaca. Akhirnya harus settled dengan rasa sangat tidak puas ketika tutup buku yang menandakan 'sudah ditamatkan'. Penulis rasa premis yang dijual, interpretasinya ambigu yang berhasil menyihir untuk membeli The Memory Police (Polisi Kenangan) tapi, penulis menilai magic effect-nya tidak cukup untuk menopang novelnya karena bekerja hanya sebentar saja. Penulis pikir dengan beragam alasan tumpah di sesi ini, The Memory Police (Polisi Kenangan) mendapatkan 3.00 stars out of 5.  


Oke, saatnya penulis menutup ulasan The Memory Police (Polisi Kenangan) dengan berkata, "I'll be back with more articles". Thanks for visiting my blog! ^o^. 





END






* Disclaimer: Courtesy of  Google Images.  The material published on this website is intended solely for general information and reference purposes and is not legal advice or other professional advice.  









Comments